Mungkin ini akan menjadi post terakhir saya tentang perjalanan ke Jepang. Sebenarnya ada banyak hal yang ingin saya ceritakan, tapi dari beberapa postingan sebelumnya, tampaknya tidak begitu banyak orang yang tertarik. Yang baca sih cukup banyak, total pageviews sekitar 3000an, tapi yang komentar cuma 1 orang! Ah, jadi males deh buat ngelanjutin… tapi ada 1 cerita yang harus saya bagikan kali ini, informasi cukup penting buat kamu yang berencana pergi ke Jepang.
Saya pergi ke Jepang dengan 3 orang sahabat: Peter, Jack, dan Leon. Dari sejak di pesawat menuju Jepang, Leon sudah tidak enak badan dan sedikit demam. Selama di pesawat dia menggigil kedinginan sampai harus minta Aspirin dari pramugari. Kita sampai di Osaka sudah jam 11 malam, jadi langsung istirahat dan tidur di airport. Paginya, Leon sudah segar kembali dan siap berpetualang… paling tidak, itu dugaan saya pada waktu itu.
Hari pertama kita pergi ke Koyasan, sekitar 2 jam naik kereta dari Osaka, sebuah desa terpencil di pegunungan yang oleh UNESCO dijadikan World Heritage karena banyak biara dan kuil buddha berusia ratusan tahun, yang tradisinya masih terus berjalan sampai hari ini. Banyak biara di Koyasan menyewakan kamar dan menerima tamu asing layaknya hotel dengan biaya lumayan, sekitar Rp. 1.000.000 per orang, biara tempat kita menginap namanya Muryokoin.
Sebenarnya saya mau cerita banyak tentang Koyasan dan Muryokoin, sebuah pengalaman yang tidak akan ditemui kalau kamu ke Jepang pake tour, tapi percuma lah, nulis panjang-panjang juga gak ada yang komentar, jadi saya kasih fotonya saja.
Setelah semalam di Koyasan, besoknya kita langsung menuju Kyoto. Pengalaman paling seru di Kyoto itu keliling kota naik sepeda mengunjungi kuil-kuil kuno yang populer. Di seluruh kota ada jalan buat sepeda, trotoar juga lebar buat sepeda supaya bisa lewat. Kotanya super bersih, udaranya adem, orangnya friendly, jalanan mulus, nggak ada macet. 2 hari 2 malam di Kyoto adalah bagian yang paling berkesan dari trip kemarin ini. I love Kyoto, saya pasti ke sana lagi nanti.
Sebenarnya saya mau cerita banyak tentang Kyoto dan keliling kota naik sepeda, sebuah pengalaman unik yang nggak akan terlupakan, tapi percuma lah, nulis panjang-panjang juga gak ada yang komentar, jadi saya kasih fotonya saja.
Dari Kyoto kita meluncur ke Tokyo naik shinkansen, perjalanan memakan waktu sekitar 3 jam. Karena mampir dulu di Kawasaki untuk mengunjungi Doraemon Museum, kita tiba di Tokyo sekitar jam 8 malam. Apartemen yang kita sewa bersih dan cukup nyaman, tapi lokasinya agak jauh dari pusat kota jadi kalau mau ke mana-mana harus naik kereta dulu 15-30 menit. Setelah check in dan menaruh tas, kita langsung meluncur ke Roppongi karena ternyata Peter punya kenalan di Tokyo, dan dia mengajak kita semua dinner.
Malam itu tanggal 31 Oktober, malam Halloween, dan anak-anak muda Tokyo benar-benar serius dalam merayakannya. Di kereta saja sudah banyak orang berkostum, tapi begitu saya sampai di Roppongi dan naik ke permukaan jalan (stasiun keretanya di bawah tanah), apa yang saya liat adalah pemandangan luar biasa yang menghentak seluruh indera saya. Ribuan manusia berkeliaran di jalanan pake kostum! Luffy, Goku, Sailor Moon, Power Rangers, Mickey Mouse, vampir seksi, polwan seksi, suster seksi, semuanya berhamburan di mana-mana. Sebuah kegilaan yang menakjubkan! Malam itu kita keliling dan nongkrong di Roppongi sampai jam 3 pagi (dan masih rame!)
Kalau kamu mau pergi ke Tokyo, saya sangat merekomendasikan untuk pergi pas Halloween, sebuah pengalaman super seru yang nggak ada di sini. Sebenarnya saya mau cerita banyak tentang Tokyo, tapi percuma lah, nulis panjang-panjang juga gak ada yang komentar, jadi saya kasih fotonya saja.
Tidak tahu karena apa, mungkin karena belum pulih benar, mungkin karena begadang, mungkin karena cuaca yang dingin, besok harinya Leon demam lagi dan diare parah. Dia memutuskan untuk tinggal di apartmen dan istirahat, jadi kita ke Shinjuku mengunjungi Artnia, SquareEnix cafe bertiga saja. Sepanjang hari semuanya baik-baik saja, saya pikir setelah istirahat seharian Leon pasti sudah pulih. Tapi ternyata tidak begitu ceritanya…
Sekitar jam 7 malam Leon memberitahu lewat LINE kalau badannya lemas akibat diare seharian, dia minta agar kita bertiga segera pulang ke apartmen karena dia demam tinggi dan sepertinya mau pingsan. Wah, saya, Jack, dan Peter langsung kebingungan, Leon harus dibawa ke rumah sakit, tapi bagaimana? Nggak ada yang bisa bahasa Jepang!
Jack menelpon pemilik apartmen yang kita sewa untuk meminta bantuan, Peter menelpon nomor darurat 119 untuk mencari info tentang ambulan atau bantuan apapun, dan saya googling mencari rumah sakit berbahasa Inggris terdekat dari apartemen. Telponnya pake apa? Pake telpon koin. Di Jepang telpon umum koin masih banyak digunakan, di setiap stasiun pasti ada.
Pemilik apartemen sepertinya tidak mau ikut campur dalam hal ini, lewat telpon dia hanya memberitahu supaya kita membawa Leon ke rumah sakit dan harganya pasti mahal. Dia tidak memberitahu harus ke rumah sakit mana, tidak ada inisiatif “Oh, ayo saya anterin ke RS” seperti yang sewajarnya terjadi di Indonesia, bahkan menawarkan bantuan pun tidak. Saya cukup kecewa dengan sikapnya.
119 lebih membuahkan hasil, begitu mendengar Peter berbahasa Inggris, operator langsung mengalihkan ke orang yang bisa berbahasa Inggris juga. Dari situ kita mendapatkan referensi nama dan alamat rumah sakit yang bisa bahasa Inggris. Kita juga bertanya tentang kemungkinan memanggil ambulan, tapi operator bilang kalau ambulan bisa 1-2 jam baru tiba jadi lebih baik naik taksi saja.
Dengan bahasa Jepang saya yang seuprit, cuma modal 2 kata: “byouin” dan “hospitaru”, supir taksi langsung mengerti dan mengantarkan kita ke rumah sakit. Sampai di rumah sakit, resepsionisnya tidak bisa English… sampai harus heboh memanggil salah satu perawat yang “lumayan” bisa English tapi tetap saja susah berkomunikasi. Ketika dokternya muncul saya agak lega, kalo dokter pasti bisa English dong? Eh, ternyata bahkan dokternya pun tidak bisa English! Dokter loh!
Peter akhirnya menelpon kenalannya, Masato, yang mentraktir kita di malam Halloween, sebenarnya tidak ingin merepotkan tapi keadaan sudah mendesak. Untungnya ada pocket wifi, jadi bisa telpon via LINE. Masato dan sang dokter ngobrol di telpon lumayan lama dan hasilnya adalah… mereka tidak mau menerima kita karena alasan bahasa, jadi kita harus pindah ke rumah sakit lain. Luar biasa! Rumah sakit ngoper pasien kayak angkot ngoper penumpang…
Saya mengerti, mungkin dokternya tidak mau sampai terjadi apa-apa karena miskomunikasi, takut salah diagnosa atau apa, tapi lumayan kesal juga karena kita sudah menunggu cukup lama, sudah pakai isi formulir segala, kalau mau nolak harusnya dari awal dong. Yang paling kasian itu ya si Leon, harus pindah ke sana ke mari padahal jalan saja susah. Untungnya mereka memberitahu ke rumah sakit mana kita harus pergi, semuanya diprint di kertas lengkap dengan alamat dan petanya. Setelah memanggil taksi, kita berangkat.
Rumah sakit kedua ini jauh lebih besar dan modern daripada yang sebelumnya, jadi pasti bisa English dong? Salah! Lagi-lagi resepsionisnya cengo bingung bego pas kita mau registrasi. Setelah sedikit bahasa Tarzan dan isi formulir, akhirnya kita diantar ke ruang tunggu…
Buat nunggu…
Dan nunggu…
Sampai sekitar 1 jam akhirnya seorang suster menghampiri, nanya-nanya dan mengukur suhu tubuh Leon, suhunya 39.8 derajat Celcius. Saya pernah mengalami demam setinggi itu, rasanya ngefly kayak tipsy, otak udah mulai kacau, omongan dan pikiran mulai ngawur. Jadi menurut saya ini kondisi yang cukup darurat, tapi susternya kalem santai aja. Setelah mengukur suhu, dia minta kita “chotto matte kudasai” (mohon tunggu sebentar) lagi…
Jadi kita nunggu lagi…
Dan nunggu…
Tiba-tiba Masato datang! Dia bela-belain datang jauh-jauh dari rumahnya di sisi lain Tokyo buat memastikan kita semua baik-baik saja dan supaya bisa ada translator kalau butuh apa-apa. Masato baik banget, kalo dia ke Jakarta nanti pasti kita traktir habis-habisan. Tapi Leon masih harus nunggu di kursi roda…
Dan nunggu lagi…
Masih nunggu…
Sampai akhirnya nama Leon dipanggil setelah 2 jam nunggu. Gila, kalo ada orang yang sekarat udah mati duluan kali kalo nunggunya kayak begini. Leon masuk ke ruang dokter ditemani Masato dan Jack, saya dan Peter menunggu di luar.
Pelayanan rumah sakit Jepang tidak sekeren teknologi dan kemajuan negaranya. Kita sampai di rumah sakit itu sekitar jam 10 malam, jadi rumah sakit sudah tutup dan hanya ada beberapa dokter jaga. Saya tidak tahu apakah di rumah sakit lain di Jepang sama semua, tapi di rumah sakit yang kita datangi ini tidak ada Instalasi Gawat Darurat seperti di Jakarta, jadi kita harus melalui proses administrasi dulu dan mengantri lama di ruang tunggu untuk ketemu dokter.
Bahkan ada anak kecil yang nangis karena dahinya berdarah, mungkin karena jatuh atau apa, dibiarkan menunggu begitu saja bersama ibunya. Dari pertama kali datang anaknya nangis teriak-teriak sampai anaknya berhenti nangis, darah masih ngocor dan tidak ada perawat yang melakukan tindakan apapun! Kalau di Jakarta sih masuk IGD langsung dijahit gak pake lama.
Rumah sakit di Jepang beda banget dengan di Jakarta. Saya masih ingat waktu itu saya demam tinggi karena infeksi pencernaan, terus dibawa ke rumah sakit sore-sore, masuk ke IGD langsung disuruh tiduran di ranjang, dan sambil menunggu giliran dokter, perawat mengukur tekanan darah dan suhu tubuh, nggak lama setelah itu dokter menghampiri, nanya-nanya sebentar, lalu saya diinfus dan demam langsung turun, sementara itu di meja registrasi adik saya sudah selesai mengisi formulir dan mengurus administrasi. Gak pake lama, gak pake ribet, gak pake nunggu. Semuanya beres dengan cepat dan simple. Hebat!
Pelayanan rumah sakit di Jakarta ternyata bagus banget! Saya baru menyadari hal ini pas di Jepang. Mungkin opini saya tidak bisa dijadikan patokan, karena saya selalu pergi ke rumah sakit swasta yang cukup mahal. Saya tidak tahu bagaimana kondisi pelayanan di rumah sakit umum atau yang di luar Jakarta, tapi paling tidak saya jadi bisa melihat bahwa ternyata ada yang bagus juga dari Indonesia hahaha…
Saya sempat posting foto dan cerita sedikit tentang pelayanan rumah sakit Jepang yang buruk di Path, terus salah satu teman memberikan link artikel yang membahas hal yang sama. Ternyata memang sistem kesehatan di Jepang sedang mengalami krisis, kurangnya dokter dan perawat membuat pelayanan jadi lama, bahkan ada kasus-kasus di mana pasien meninggal karena lama ditangani. Kalau kamu tertarik, silakan baca di http://www.economist.com/node/21528660
Setelah cukup lama menunggu, Leon, Jack dan Masato keluar dari ruang dokter. Leon sudah diinfus, jadi panasnya sudah turun dan bisa berjalan normal lagi. Mereka bercerita ternyata dokternya bisa English jadi semua berjalan lancar, tapi kita masih harus menunggu lagi hasil tes darah. Sambil menunggu kita makan malam dulu, saking ribetnya kita belum makan dari tadi.
Selesai makan, tes darah sudah keluar, Leon masuk lagi ke ruang dokter untukmengambil resep obat dan mencabut infusnya. Setelah semuanya beres, kita ke kasir untuk membayar. Tebak berapa biayanya untuk konsultasi, tes darah, obat dan pelayanan yang lambat itu? Total biaya yang harus dibayar Leon sekitar Rp. 3.200.000! Mahalnya gila-gilaan! Masato cerita bahwa semua warga negara Jepang punya asuransi dari pemerintah yang menanggung 70% dari biaya rumah sakit, jelas dari segi ini Jepang jauh lebih bagus dari Indonesia.
Selama 2 hari setelahnya, Leon istirahat total di apartmen dan kesehatannya mulai pulih kembali. Di hari ketiga dia sudah bisa ikut kita jalan-jalan lagi. Rencana kita buat clubbing dan party gila-gilaan di Tokyo batal gara-gara salah satu personelnya sakit, kan nggak mungkin kita tinggalin dia sendirian sampai pagi. Jadi selama dia sakit, jam 9 malam saya, Jack dan Peter sudah pulang ke apartmen, just in case saja kalau kenapa-napa. Kalau brother sakit ya harus dijagain dong, ya nggak?
Ini memang bukan pengalaman yang menyenangkan, tapi cukup seru buat saya. Melihat langsung rumah sakit dan sistem kesehatan di Jepang. Nggak kebayang kalau misalnya waktu itu saya jadi pergi ke Jepang sendirian terus jatuh sakit, demam tinggi, lemas gak bisa jalan, gimana jadinya nasib saya… bisa-bisa jadi mayat di negeri orang. Pelajaran terpenting buat kita semua: kalau jalan-jalan ke Jepang jangan sampai jatuh sakit!
Yang ngambek karena blognya gak dikomentarin,
Kei Savourie
Lucu jg gaya ngambeknya eh gaya nulisnya,saya jg mau ke osaka kyoto sama kobe,november ini saya flashpackeran gt sama anak2 dan suami,memang seru kok (yg jelas gak ada dana u ikut tour)..waktu ke roppongi naik keatas gak liat tokyo tower nya ih kereeen banget loh
makasih info2nya jd ada persiapan…
asik ngebaca nya…jangan ngambek dong…
salam dari Kuta-Bali.
cerita liburan selama di jepang nya menarik bro, tetep semangat ngeblognya yah, nulis blog itu kayak ninggalin harta kadun bro buat orang yg baca, jadi mungkin di blog sedikit bgt yg komen tapi informasi cerita yg lo kasih ke orang lain itu berarti banget buat orang kayak gue yg mau backpackeran ke jepang…. thx ya bro… keep blogging!!! cheers
jack or jackson ? . nice trip meski salah satu personel sekarat hehehehhe
Pembaca blogger amat sangat jarang comment. Tapi 2 slide awal gw save pic itineary n bbrp rekomen. En utk kisah temen lo turut ber empati. Dan sorry gw sempet ngakak. Gaya cerita nya bagus. En banyak infonya juga. Btw, thanx.
karena penulisnya proklamasi ngambek, jadinya pada komen, hahaha. sebenarnya saya pengen baca cerita2 lainnya , gimana ke tempat2 wisatanya, tapi ternyata penulisnya ngambek dan akhirnya cuma bagi foto hehehe. anyway good article, thank you bro!
Seneng bacanya….seruuu….dan jadi tau sikon di sana…thanks yah sharing ceritanya…
Seperti yang pernah di ceritakan teman yang lama tinggal di sana, ternyata orang Jepang itu friendly juga. Menarik membaca artikelnya… hmm..jadi ingin ke sana.
Man, I love this story I read it twice. First I read this article by myself. Second I read it out loud to my fiancee. Ahahha. It kinda reminds me on my own trip to Hong Kong and China last christmas with my fiancee, my brother, and my cousin. Cousin was still 15 years old and never been overseas before, so he’s taking a bit of time to adapt to its relatively cold weather (Southern China and Hong Kong were around 12-15 celcius during december). In fact, on the third day right after our one full day visit to Disneyland, he collapsed for one full day. Fortunately he did bring some medicines from jakarta as a precatioun and one full day was enough for recovery so hospitalization was unnecessary (He did have to spend the whole day from 9 am to 8 pmby himself in the hotel room playing candy crush and facebook and other mobile gaming). But yeah Hong Kong people are more apt to english than the Japanese were. But Hongkongers are generally very rude compared to almost all kind of people i’ve encountered my whole life. Anyway your story in Japan is very inspiring me to visit there someday. I visited narita once i was in 24-hour transit from new york to jakarta in 2007. But 24 hours could not give me a window to do anything more than strolling around and hunting street food all by myself. Thanks for the share. You even took yourself a trouble writing it down in details all the things we should prepare and giving me a first person description of what to do there, what cool places are, etc.
wah rugu kalau traveling malah sakit
Tks ya infonya sangat membantu, padahal pake ngambek….
Waah terimakasih sudah berbagi pengalaman yang berharga ini. Akan saya ingat selalu karena cita-cita saya adalah merasakan indahnya suasana Negara Sakura itu.. Arigato Godzaimashita
Kalo udah ke Jepang, Pasti udah pernah ke Jogja kan? pake ini rental mobil jogja semberani ya kalo ke Jogja :3
hihi, emang gitu suka dukanya ngeblog, kadang gregetan kalo banyak yang baca , tapi engga ada yg komen 🙂 anyway, thanks bgt info nya, kebetulan saya lagi cari info sbnyk2nya utk next trip ke jpn 🙂 keep writing ya ^^
Hhaha om kei, itu tiket 2 jutaan uda total? Selisih 3 jt donk? Ada kemungkinan lb mura ga nae airasia itu?
thx, keep posting laa~ wkwkw
3,2, juta sbnrx buat kantong orang jepang yg penghasilan sejuta perhari ga mhl2 amat. mungkin setara 300 rb kalo pk standar umr indonesia 3 jt/bulan. tp tentu agan punya standar hidup di atas orang jepang kan
keren ceritanya, sampe ketawa ga jelas liat orang-orang aneh bahasa tarzan. Terima kasih karena udah berbagi cerita yang membuat saya termotivasi lagi untuk ke negri anime. Semoga kesampean buat ke Kyoto. Ditunggu cerita perjalanan berikutnya bang!!….GBU
Terima kasih, informasi yang sangat-sangat bermanfaat, moga saja saya dan keluarga jadi berangkat tahun baru nanti ke jepang
Wah .. ternyata harus bnr2 jaga stamina yah. Mgkn pengaruh cuaca jg yah. But, Thanks banget infonya gan, kebetulan lg planning ke sono jg. Kan udah bebas visa
Good info om kei .. rencana saya ke jepang bulan july 2015, ini perjalanan yg ke 3, moga saya tidak mengalami kejadian yg dialami … kayaknya bekal obat-obatan dari indonesia seperti minyak angin, norit, balsem harus dibawa nih … tetap semangat nulis om kei ….