Being Superhero

beingsuperhero

Dua hari yang lalu, saya bermimpi memiliki kekuatan yang unik: bisa secara instan mengubah set fashion menjadi apa saja yang saya mau, mulai dari baju, celana, facial make-up, gaya rambut, sampai semua asesoris kayak cincin, gelang, tas, bandana, dsb. Prosesnya instan mirip salah satu adegan di film Matrix dimana Neo dikasih instan skill kungfu dan peralatan senjata.

Dalam mimpi itu, saya hanya perlu memperhatikan gambar atau orang yang menggunakan kostum tertentu, lalu mengepal tangan kanan untuk memunculkan outline transparan dari pakaian yang bersangkutan di tubuh saya. Dua detik kemudian, kerangka itu udah terisi dengan jenis pakaian yang saya inginkan. Semua ukurannya fit sempurna di tubuh, dan saya masih bisa mengubah-ubah warnanya kalau terasa kurang cocok.

Jadi ceritanya saya tidak terlahir demikian. Kekuatan aneh itu muncul tiba-tiba entah darimana ketika saya sedang membaca-baca sebuah majalah fashion di sebuah ruang tunggu. Saya memejam mata, membayangkan memakai salah satu pakaian di sana dan ketika membuka mata, voila, di tubuh saya menempel pakaian tersebut.

Campuran antara norak dan senang, setelah hari itu, saya rajin bergonta-ganti kostum setiap kali lagi jalan hangout dengan sahabat-sahabat saya. Tentu saja saya tidak berubah di depan mata mereka atau di depan umum, melainkan pergi ke toilet dan ketika kembali, saya sudah pake baju baru yang lain lagi.

Rasanya mengasyikkan bisa dalam sekejap pake semua jenis fashion dari semua desainer dunia dan semua jenis bahan fabric yang saya lihat. Tapi setelah minggu yang kesekian, dalam mimpi itu saya kehilangan rasa bahagia, malah berubah jadi sedikit depresi, karena akhirnya menyadari kekuatan itu tidak ada gunanya.

Memang canggih dan keren, namun pada kenyataannya saya hanya bisa merubah kostum seenak jidat. Terkesan superhero, namun rasanya meaningless. Tidak punya badan yang kebal peluru, tidak bisa merubah bentuk fisik, tidak bisa terbang atau embel-ember kekuatan super lainnya.

Ketika terbangun, saya tidak berhenti senyum-senyum sendiri ketika menyadari sekalipun punya kekuatan super, saya tidak bisa memakainya untuk sesuatu yang bermakna. Saya tidak bisa memberi kontribusi ke siapapun. Saya juga tidak punya penjahat yang harus ditumpas juga dengan kekuatan tersebut.

Memangnya siapa yang bisa jadi musuh saya? Orang-orang yang tidak mampu beli baju bagus? Membasmi subkultur punk dan distro streetwear-nya? Membersihkan Mangga Dua, Roxy Mas, dan tempat sejenisnya dari barang-barang KW? Pointless

Lalu tadi pagi, organ abu-abu di dalam tengkorak kepala saya ini mendadak meregang dan berteriak sesuatu: human are built for meaningful life, not for happiness. Alasan kita belajar mati-matian, bekerja keras, mengejar impian setinggi langit, serta mengumpulkan ini dan itu di sepanjang hidup adalah bukan karena kita ingin merasa bahagia, melainkan karena kita butuh merasa berarti atau memiliki arti.

Apapun kebahagiaan yang sudah kita miliki akan sirna begitu saja ketika menyadari bahwa hal tersebut tidak membuat hidup kita lebih berarti. Sebagai akibat, sebagian besar dari kita terdorong untuk terus mencari kebahagiaan-kebahagiaan yang lebih besar, lebih tinggi, lebih banyak, dengan harapan akan menemukan kebahagiaan lainnya di pojok yang berikutnya. Sayang sekali, kita hanya akan sebentar saja menikmati bayangan kebahagiaan di sana, sebelum dia melangkah pergi lagi.

I’ve come to realize that happiness is meant to be fleeting. Kita tidak akan bisa merasa bahagia jika satu-satunya yang kita rasakan adalah kebahagiaan itu sendiri. Seseorang yang memiliki lima buah kebahagiaan tidak akan lebih bahagia daripada seseorang dengan dua kebahagiaan, karena kebahagiaan itu sendiri tidak pernah berarti apa-apa. Malah jika kita mengumpulkan kebahagiaan, ia akan berubah menjadi hak milik yang membebankan karena tidak selamanya hal yang membahagiakan itu akan memberikan kebahagiaan.

Hal itu terbukti dari orang-orang super kaya yang justru lebih sulit merasa bahagia dibandingkan orang dengan penghasilan biasa-biasa saja. Hasil survei Indonesian Happiness Index 2007 oleh Frontier Consulting Group menyatakan bahwa para pemilik perusahaan dan manajemen level atas yang biasa diidentikkan sebagai kaum the haves justru berada di tingkat paling rendah atau paling tidak bahagia. Mereka mengakut sulit mendapatkan apa yang membahagiakan, bertolak belakang dengan para pekerja yang secara status berada di bawah tingkat kemapanan mereka.

Semakin kita berusaha memegang, mengontrol kebahagiaan, semakin kita merasa hampa dan dibayangi oleh kecemasan-kecemasan yang tidak beralasan. Kita takut suatu saat keadaan akan menjadi sulit sehingga kita kehilangan akses ini dan itu. Kita takut seseorang akan merampas kebahagiaan tersebut. Dan yang lebih sakitnya lagi, kita takut orang lain lebih bahagia daripada kita.

Di hari kita menjadikan kebahagiaan sebagai tujuan hidup, saat itulah kita mulai memburu kaki pelangi. Mengejar sesuatu yang tidak terkejar. Menginginkan sesuatu yang tidak boleh diinginkan.

Mengapa demikian?

Karena kebahagiaan hanyalah by-product, atau hasil atau efek, dari sebuah hidup yang bermakna. Dalam mimpi aneh tersebut, saya awalnya merasa bahagia karena kekuatan super itu memberikan makna-baru bahwa saya adalah pria ajaib yang bisa memakai pakaian apa saja yang saya inginkan dengan mudah. Namun kebahagiaan itu tidak berlangsung lama karena setelah itu saya tidak berhasil menemukan makna atau kegunaan-kegunaan lainnya.

Dalam mimpi itu, saya malah merasa depresi karena kebahagiaan (baca: kekuatan super) yang saya dapatkan itu. Kebahagiaan tersebut tidak menyumbangkan arti yang signifikan dalam diri saya sebagai manusia. Tidak peduli seberapa berkilau kebahagiaan tersebut, jiwa kita tidak akan menikmatinya dengan baik, karena jiwa tidak terprogram membutuhkan rasa puas maupun bahagia, melainkan membutuhkan rasa keterhubungan yang bermakna.

Kita butuh merasa terhubung dengan diri sendiri. Kita butuh merasa memiliki hidup yang berarti. Kita butuh merasa bahwa kita memiliki kegunaan, fungsi, atau makna ketika menjalani hidup di dunia ini. Tanpa poin tersebut, maka semua kelebihan, kekuatan, kemewahan yang kita miliki akan terasa seperti cangkang kosong saja.

Kebermaknaan itu juga mencakup keterhubungan dengan sesuatu yang lebih besar dari diri kita sendiri, yakni makna yang didapatkan dari manusia lainnya dan Tuhan. Kita sibuk belajar dan bekerja seumur hidup demi dapat memenuhi rasa kebermaknaan tersebut. Semakin banyak kita menemukan dan menciptakan makna di sana-sini, semakin jiwa kita memiliki perasaan utuh, lengkap, dan sempurna. Pada tahap inilah, kebermaknaan menelurkan efek samping yang ditunggu-tunggu, yakni kebahagiaan.

Kebahagiaan akan cepat menjadi sebuah kehampaan ketika ia tidak dapat dibagikan kepada orang lain. Menyebarkan kebahagiaan sesering mungkin kepada semua orang akan menciptakan makna yang besar dalam hidup. Nyaris tidak ada seorangpun yang bisa menghapus seluruh kebahagiaan tersebut karena itu berarti dia harus memusnahkan semua orang yang pernah Anda bagikan kebahagiaan sehingga kerja keras Anda menjadi terasa sia-sia.

Yang kadang membuat kita merasa pahit dan sakit hati -baik ketika dipecat oleh atasan, dikalahkan lawan, dikhianati sahabat, diputus kekasih, ditolak keluarga- adalah karena pada saat itu kita merasa diri kita tidak bermakna. Kita merasa seseorang atau keadaan menyangkali arti dari diri dan kerja keras kita. Kita merasa seseorang atau keadaan telah merebut (salah satu) makna hidup kita. Tapi berikan waktu yang cukup dan pengaruh dari orang-orang yang tepat, maka kita akan mampu memulihkan diri kembali ketika menyadari adanya makna-makna lain dalam hidup yang pernah kita taburkan dahulu.

Tidak selamanya juga hal yang menyakitkan itu memberikan kesedihan dan kesengsaraan. Seorang ibu yang telah bersusah payah menghabiskan waktu sembilan bulan ‘mengeram’ bayinya justru merasakan kebahagiaan. Ketika harus menjalani proses bersalin yang begitu menyakitkan, sang ibu juga merasa bahagia karena akhirnya dapat menghadirkan belahan jiwanya ke dalam dunia.

Seorang ayah juga merasa begitu bahagia melihat anaknya bisa mendapatkan pendidikan yang baik, sekalipun ia harus bekerja mati-matian untuk membayar uang sekolahnya. Seseorang akan dengan bahagia menyumbang salah satu ginjal kepada sang kekasih hatinya yang mengalami gagal ginjal.

Dalam kisah antologinya, Victor Frankl bercerita tentang seorang dokter yang sedang sangat berduka karena istrinya yang meninggal. Frankl bertanya, “Jika Anda yang meninggal lebih dahulu, bagaimana perasaan istri Anda?” Dokter itu menjawab bahwa sang istri akan mengalami keadaan yang sangat sulit dan depresi dalam kesendiriannya.

Kemudian Frankl menjelaskan bahwa dengan meninggalnya sang istri lebih dahulu, wanita itu justru beruntung karena tidak perlu mengalami kesengsaraan karena hidup sendiri. Sang dokter yang harus menerima beban kesengsaraan tersebut agar istrinya bisa terlepas. Penjelasan Frankl tersebut membuka paradigma sang dokter sehingga ia bisa menerima keadaannya dengan lapang dan meneruskan sisa hidup berbahagia.

Ibu bersalin, ayah pekerja keras, kekasih donor ginjal, dan sang dokter di atas tidak berada dalam keadaan yang membahagiakan. Namun ketika mereka menemukan makna yang lebih besar dan menyesuaikan diri dengan baik, mereka merasakan kebahagiaan dengan sendirinya dan bangga akan pengalamannya.

Ingat bahwa kita memang berhak untuk menjadi bahagia, namun kita tidak diciptakan untuk merasa bahagia. Kebahagiaan adalah sebuah bonus prestasi yang diberikan secara otomatis ketika kita berkonsentrasi melakukan tugas yang sebenarnya, yakni menemukan dan menciptakan hidup yang bermakna. Atau dalam bahasa Abraham Maslow, mengaktualisasikan diri.

Bonus tidak seharusnya menjadi fokus. Prestasi tidak bisa menjadi obsesi. Akan selalu ada orang yang mendapatkan bonus lebih banyak, prestasi lebih tinggi dibandingkan kita. Itu sebabnya mereka yang berfokus pada kebahagiaan akan menemui bahwa dirinya serba berkekurangan, bahkan lupa bahwa dirinya lebih membutuhkan kebermaknaan daripada kepuasan.

Saat ini, saya jadi punya perspektif yang baru untuk menanggapi mimpi dua hari yang lalu tersebut. Saya menemukan bahwa setiap orang bisa menjadi Superhero, tanpa peduli apakah ia memiliki kekuatan super atau tidak. Superhero adalah seseorang yang memiliki sensitifitas tinggi untuk memahami pentingnya fungsi atau makna dalam hidupnya, dan berkomitmen tinggi untuk mewujudkan hal tersebut.

Ia memiliki jalur empati yang sangat besar untuk menghubungkan kesadaran dirinya dengan impiannya serta orang-orang di sekitarnya. Menjadi Superhero bukan tentang menyelamatkan bumi dari ancaman besar; itu hanya hiperbola dalam dunia komik saja. Seorang Superhero menyadari panggilannya untuk menciptakan makna dalam kehidupan sehari-hari, daripada menghabiskan waktu mengejar kebahagiaan belaka.

Menurut Maslow, terdapat kurang dari 1 persen orang dewasa yang berhasil mencapai aktualisasi diri yang bermakna. Jadi jika Anda bisa mengembangkan sensifitas dan kesadaran diri akan makna tersebut, maka Anda termasuk orang yang super jarang. Kehidupan bermakna yang Anda miliki dan bagikan kepada orang lain, itulah kekuatan super luar biasa yang melayakkan kita disebut Superhero.

Anda dan saya sudah memiliki potensi kesadaran akan makna tersebut, karena kita memang diciptakan untuk meaningful life, not happiness. Tantangan saya untuk Anda hari ini adalah apakah Anda BERSEDIA untuk menjadi kelompok satu persen Superhero itu?


127 Responses to Being Superhero

  1. aduh menyentuh banget. g mungkin khan gw ngomong ky gitu.

    jadi inget karya kahlil gibran, pastinya instruktur g inspirasi dari situ khan.

    afis lagi usil

  2. Mensyukuri nikmat hidup yang ada aja saya masih belum bisa sempurna, apalagi memaknai jika diberi kekuatan superhero. Pokoknya saya belajar bersyukur aja deh dulu

    Salam kenal mas, dari Kalimantan nih blogwalking sekalian nyari backlink (jujur aja) 🙂

  3. Wew.. another inspiring entry..

    Fulfilling your life with meaningful things. Thanks to my dearest mom and Slytherin dt knows what it is and how to get it since junior high.

    Mom always tells dt to keep smiling, be grateful with everything we get, and to share everything we can.

    Dan mungkin yang jadi pengingat terbesar dt adalah nama dt sendiri yang membuat dt munculin satu pertanyaan setiap berangkat tidur “apa hari ini dt sudah jadi orang yang ‘migunani’?”

    @ Sins:
    hm, dt has passed the fourth phase and still doing the fifth. Tapi rasanya dalam beberapa bulan ke depan, dt bakal balik lagi ke tahap ke empat..

  4. Semakin kita berusaha memegang, mengontrol kebahagiaan, semakin kita merasa hampa dan dibayangi oleh kecemasan-kecemasan yang tidak beralasan. Kita takut suatu saat keadaan akan menjadi sulit sehingga kita kehilangan akses ini dan itu. Kita takut seseorang akan merampas kebahagiaan tersebut. Dan yang lebih sakitnya lagi, kita takut orang lain lebih bahagia daripada kita.

    tepat menggambarkan apa yang sedang saya rasakan ketika menulis apa arti bahagia. terimakasih pencerahannya. terimakasih telah berkunjung =)

  5. @MboENkZ41:
    ga gitu cara ngeLiat u ada di tahap mana..

    kaLo u masih beLum sampe tahap 1,
    berarti u nda punya rumah (tidur di jaLanan)..

    ga ngaruh u dapetin dari mana,
    tp asaL kebutuhan primer u terpenuhi,
    artinya u bisa makan, punya rumah, dan punya baju,
    u udah Lewat tahap 1..

    gitu bro..

    – RedZz de Lady –

  6. Kalo Lex dePraxis jadi kandidat calon presiden, gw pilih SBY aja deh…

    Eh…! Maksudnya pilih Lex dePraxis aja dong!

    Entahlah, gw merasa Indonesia sangat membutuhkan sosok seperti Lex.

  7. @Shahil

    Apakah anda sudah mengenal Tuhan sebenar?
    Apakah anda sudah bahagia?
    Sudahkah anda baca buku God’s Debris?
    Memang anda tidak harus setuju dengan teorinya tapi buku ini bagus untuk membuka mata dan pikiran anda

  8. Mmmmm… jadi gt ya. wah, master lex emang hebat, emang superhero. artikelnya banyak macem, ada yg gokìl jg. ^^

    profesor, ato genius, ato master ya? awesome!!

    mmmmm, lex, kalo gt, bagi jawaban bwt pertanyaanku dounk. koq gax prnh ad reply?

  9. Salam hormat buat anda Lex dePraxis.

    Banyak sekali difinisi kebahagiaan yang bisa kita sharing. Superhero, kekayaan, nama besar dan lain-lain bisa didefinisikan kebahagiaan.

    Namun kebahagiaan sebenar ialah apabila kita mengenal Tuhan yang sebenar dan mengabdikan diri kepadaNya.

    Tuhan yang sebenar ialah yang tidak sukar dijelaskan dan sesuai dengan norma.

    Pengabdiaan diri kepadaNya melibatkan dzahir dan bthin.

    Pengabdiaan dzahir ialah menunaikan suruh dan meninggalkan tegahNya. Pengabdiaan bathin iaitu sentiasa mengingatiNya.

    Menunaikan suruh dan meninggalkan tegahNya supaya jelas kita beda dengan haiwan. Sentiasa mengingatiNya supaya kita terasa kehampiran kepadaNya.

    Hampir kepada Tuhan yang sebenar dan tunduk sujud kepadaNya adalah kebahagiaan sebenar.

    Maaf…ini adalah amalan dan pegangan saya.

    Salam hormat.

    Shahil
    http://shahil.wordpress.com

  10. @all
    emank ga mudah buat berbagi
    tapi ada caranya
    Kalo berdasarkan hirarki kebutuhan maslow
    tahap 1 Physical needs,lo bakal cari kebutuhan fisik kaya pangan,sandang,papan
    Tahap 2 Security needs, lo bakal cari keamanan untuk lo bisa bertahan hidup kedepannya
    tahap ke 3 Needs of belongings, lo bakal merasa ingin dimiliki dan memiliki seseorang,
    Tahap ke 4 Self – esteem, lo bakal berusaha mencari penghargaan dari sekitar lo
    Tahap ke 5 Self actualization, di tahap ini lo akan berusaha berbagi dan memberi.

    SO emank berbagi itu gak mudah, dan kalo lo masih kekurangan lo gak bakal bisa membagi/memberi.

    So sudah sampai di tahap manakah kalian ?

  11. Lex2…

    Gw kehabisan kata2…

    Berbagi.. Satu kata yang mungkin susah dijalanin karena terhalang tembok egoisme.. Gw ndiri sering banget ngalami di kampus..

    Loe membuka perspektif baru di otak gw..

    Gw pingin banyak belajar..

    Thanks atas pemikirannya.. Dalem banget..

  12. Hohoho.. terima kasih telah berkunjung ke blog saya ^^

    Tapi tulisan saya tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan tulisan Anda, saya hanya copy paste dari suatu milis yang saya ikuti..

    Anyway, salam kenal juga..

  13. wah bahagianya bisa bermimpi seperti itu…toh akhirnya menjebak kita juga, ternyata kl mimpi itu terwujud blm tentu membuat kita bahagia ya.
    krn bahagia sejati itu kl ada keseimbangan hidup untuk agama, keluarga dan sosial…
    sukses selalu lex…

  14. Hebat…
    Lex kita punya kesamaan pemikiran.
    jangan-jangan kita punya hubungan batin.
    walo kita beda agama.

    komentar ah…
    yah.. kalo gak enak gak mungkin banyak wanita mau hamil dan melahirkan.

    bicara bonus…
    gitu juga, jadi lah cowok glossy dan cewek akan datang sebagai bonus.
    misalnya anggota DPR, hehehehe. bercanda.

    bekerja lah 3x lipat dan penghasilan akan ikut 3x lipat. Penghasilan dari bonus, proyek tambahan, delegasi tambahan, menjadi master yang dinilai tinggi.

  15. Entah mengapa hitmansystem itu beda ya. awalnya saya kira HS itu sama dgn yg lain di sana. mengurusi masalah romansa doang. tp kalo hitman itu lebih mengarah ke pengembangan pribadi ya. bener gak si? 😀

    Terutama melalui artikel2 yg inspirising seperti ini 🙂

  16. hmm… kayaknya lu potensial tuk jadi pembicara bro. gmn kalo kapan-kapan gw undang lu preaching di gereja gw. 😀

    looking for preachers.

  17. I always admire your writing, Lex.
    It is so awesome (berbobot)!

    Bener banget, banyak orang yg hidup tanpa tujuan, keinginan yg jelas. Paling2 hidup hanya untuk mencari kesenangan semu. Dan bener banget, semakin kita mengejar kesenangan itu, semakin kt merasa kekurangan n gak bahagia.

    Dari dulu gua jg selalu curious n punya 2 pertanyaan buat ke orang2:

    1. What is the purpose of your life?
    2. Every morning when u wake up, what do you feel or think?

    Dari pengalaman gua sih, ternyata bnyk jg yg gak pernah mikirin ato kesusahan menjawab pertanyaan simple itu loh

  18. Damn, Lex. Another inspiring post!

    Menajamkan paradigma saya tentang kebahagiaan dan hidup dengan penuh makna.

    Posting ini jg mengingatkan saya dengan ending salah satu film, In To The Wild. Kebahagiaan akan bermakna jika dibagi dengan orang lain.

Leave a Reply