I chrome you, Google…

Tidak terasa, ini adalah hari keenam semenjak saya berselingkuh dengannya. Semenjak melihatnya pertama kali pada tanggal 2 September kemarin, berkenalan, bercengkerama, dan berjalan-jalan mengelilingi seluruh dunia, saya bisa merasakan gelegak buih-buih asmara yang semakin bertumpang tindih satu sama lain. Saya begitu yakin pertemuan ini tidak ubahnya kisah-kisah legenda cinta tak lekang waktu bagaikan sang Romeo dan Juliet. Saya pun selalu membisikkan dengan lirih, “You complete me,” ala Jerry McGuire kepadanya di pagi hari ketika sinar matahari menyelusup di balik tirai kamar dan di malam hari sebelum kelopak mata ini menutup melepas lelahnya.

Saya tidak lagi menjadi orang yang sama karena setiap kenikmatan tidur berubah menjadi kekhawatiran, kecemasan apakah saya akan tetap menemukannya lagi esok hari atau dia akan pergi semisterius dia datang. Saya merasa perasaan sesak di dada ini, dan jauh lebih sesak lagi ketika mengetahui bahwa ini adalah cinta, seperti yang dibuai Woody Allen dalam Love and Death, “To love is to suffer. To avoid suffering, one must not love; but then one suffers from not loving. Therefore, to love is to suffer, not to love is to suffer, to suffer is to suffer. To be happy is to love; to be happy then is to suffer, but suffering makes one unhappy; therefore to be unhappy one must love or love to suffer or suffer from too much happiness.”

Perjalanan di hari keenam ini telah merupakan sebuah pintu gerbang era baru dalam hidup saya. Berawal dari sebuah perselingkuhan, sebuah aksi ketidaksetiaan yang dipandang rendah oleh para patron cinta di seluruh dunia. Tapi kami benar-benar saling mengisi satu sama lain dengan cara yang kami tidak bisa sampaikan dengan bahasa-bahasa manusia. Sebuah ketergantungan yang menyempurnakan, kalau bukan memuaskan. Anda pasti tahu maksud saya. Saatnya Anda bertemu dengannya.

Sambutlah… Chrome.

google chrome glossy
Inilah obsesi terbaru saya yang begitu segar dan sensual. Sepintas terlihat biasa saja, tapi kekasih terbaru ini berhasil menggeser Maxthon yang telah tertahta sebagai ratu di singgasana browser utama komputer saya semenjak 8 Maret 2007. Saya kebetulan memiliki blog entry yang merekam sejarah tanggal migrasi sebelumnya dari Firefox ke Maxthon. Pada entry tersebut, saya mencatat bahwa saya butuh waktu lima hari menggunakan Maxthon untuk baru merasakan gigitan dan kepincut dengannya. Sementara untuk kasus perselingkuhan dengan Chrome, hanya butuh waktu sekitar lima sampai enam jam bagi saya untuk “… can see your unborn children in her eyes,” seperti melankoli Have You Ever Really Loved A Woman.

Chrome adalah browser teranyar yang diluncurkan oleh raksasa dunia maya, Google, yang bisa Anda download resmi di sini atau di sana untuk versi portabelnya. Saya agak telat satu hari memakai browser yang sedang menarik perhatian dunia ini. Seorang sahabat dan alumnus workshop Hitman System mengetuk saya di jendela Yahoo Messenger menanyakan apakah saya sudah mencoba Chrome. Seketika saya mengunduhnya dengan hati yang berdebar-debar. Setelah berhasil install, tampilannya begitu asing dan segar. Film Rob Sneider, Hot Chick, memiliki penggambaran yang jelas, “You are the only one who makes my heart beat faster and slower at the same time.” Sulit untuk dijelaskan gejolak apa saja yang muncul di beberapa jam periode courting tersebut. Anda harus mencobanya sendiri.

Saya tidak berniat untuk menulis ulasan ataupun info tentang Google Chrome karena sudah banyak sekali blogger yang menuliskannya semenjak dia menapakkan diri di bumi ini. Bukan komentar, bukan juga anjuran. Entri ini hanya akan berisi kompilasi suara-suara kecil yang berdengung di pojok hati hati saya yang terkumpul beberapa hari ini semenjak kehadiran Chrome. Ada yang berisi kekaguman, ada harapan, ada kekecewaan. Jadi jika Anda tergolong orang yang cukup kepo bin iseng bin memiliki terlalu banyak waktu luang untuk membaca sampai sejauh ini, Anda akan menemukan diri Anda semakin tenggelam dalam kepala Lex dePraxis dalam euforia Chrome.

google chrome glossy
Jadi kalau Anda membaca kata ‘Anda’ dalam tulisan saya di depan Anda ini, itu adalah saya yang berbicara kepada ‘saya’ melalui Anda yang berada di depan saya yang ada di dalam kepala ‘Anda’ yang sedang membaca ‘saya’ menuliskan semua ini untuk mereka yang ‘Anda’ pikir adalah buah pengalaman saya sebagai Lex dePraxis. Saya mengerti maksud Anda?

Semakin saya meluangkan waktu bersama Chrome, semakin saya diperkosa oleh kemewahannya. Untuk browser yang notabene masih versi beta ini, rasanya unik sekali jika dia sudah diperlengkapi dengan dukungan pada berbagai bahasa di dunia. Salah satunya adalah bahasa Indonesia yang masih terasa aneh dan konyol karena lebih terasa Melayu. Bayangkan saja, ada sesuatu yang diberi nama ‘Di bawah terpal’ !!! Dalam bahasa asli, Inggris, saja saya tidak begitu mengerti, dan pengalihbahasaan tidak berhasil membuatnya jadi lebih baik. Atau Minor Tweaks yang dialihkan jadi Otak-Atik Kecil, duh…

Sebagai pengguna Maxthon yang sudah terbiasa dengan tampilan minimalis, saya tetap terkejut ketika menikmati suguhan interface yang begitu lebih minimalis lagi sekaligus menawan. Saya nyaris tidak bisa melihat tombol atau gambar apapun yang terserak di kolom antarmuka yang berwarna biru langit tersebut. Sepertinya Google benar-benar serius dengan komitmen untuk memberikan keunggulan dalam kecepatan. Mulai dari waktu loading yang keterlaluan cepat; baru saya klik shortcut, setengah detak jantung kemudian hadirlah Chrome yang langsung membuka kancing baju di dadanya, memperlihatkan sembilan buah bercak noda berdasarkan posisi persetubuhan yang paling saya sukai. Senang rasanya memiliki partner yang begitu memahami keinginan kita.

Tapi jujur saja, saya merasa sedikit perlu penyesuaian ketika melihat tampilan tab yang agak nyeleneh dibanding dengan browser lainnya, yakni barisan tab tidak berada di dalam jendela browser, tapi diluarnya! Rasa canggung itu sama persis seperti menyadari bahwa Superman, Batman, dan begitu banyak superhero lainnya yang suka memakai celana dalam di luar. Ah, pasti ini pesan subliminal yang ingin disampaikan oleh Chrome: saya memakai tab di luar, saya adalah superbrowser! Cerdas.

Revolusi itu tidak tanggung-tanggung, karena setiap tab memiliki dua fitur yang membuat saya tidak bisa berhenti memainkannya untuk alasan yang tidak begitu jelas selain.. karena saya bisa melakukannya. Coba saja menahan klik kiri dan menariknya keluar dari jendela, dan nikmati bagaimana dia melompat keluar bagai rubah sirkus yang pintar. Jangan berhenti di situ saja, coba drag kembali ke dalam jendela utama untuk melihatnya menyelip dan melebur jadi satu. Rasanya simpel, tapi bagi saya itu seperti bertemu mainan baru.

Apalagi ketika ditambah dengan melakukan drag-drop ke kanan dan kiri antar tabs. Bisa melihat mereka bisa saling bermain seluncuran satu sama lain, ah itu saja rasanya begitu lucu, menggemaskan dan damai. Sebagai seorang hipnoterapis profesional, saya bisa mengenali ini adalah usaha Google untuk mensugesti setiap pengguna Chrome untuk terdorong regresi ke usia anak-anak yang senang berlarian ke sana kemari, menepuk satu sama lain, dan memandang dunia sebagai tempat seluncur menuju tempat-tempat di seluruh dunia. Ceria dan cerdas.

Masih ada tiga hal lagi yang membuat saya bergidik merinding dengan bahagia: status bar yang hilang dan muncul begitu saja alias auto-hide di sebelah kiri bawah, omnibox yang mampu merapal mantera URL dan search engine sekaligus pada tempat yang sama, serta Incognito Window. Yang disebutkan terakhir itu adalah ide mungil yang cukup cerdas; saya sangat terkejut Google mengantisipasi kebutuhan ini dengan serius, sampai-sampai dimunculkan sebagai mekanik tersendiri dalam browser mereka. Maxthon tercinta dahulu berhasil memikat saya dengan auto-hide sidebar-nya, tapi Chrome kini mampu menghadirkan ide yang sama tapi pengaplikasian yang lebih sensual. Mereka juga memilih istilah Omnibox bukan dengan sembarangan, karena selain bisa mengakses keperluan browsing apa saja, kotak ajaib itu juga sepertinya benar-benar dilengkapi dengan kekuatan klenik untuk meramal apa saja yang ingin kita ketikkan. Aaah, ini semua terlampau ajaib! Misterius, ceria, dan cerdas.

Performa dan penampilan. Kedua hal tersebut yang sepertinya menjadi konsentrasi dari tim Google ketika merancang Chrome. Dan mereka melakukan pekerjaannya dengan sangat memuaskan, sehingga saya bisa dengan lapang dada memaklumi beberapa kekecewaan yang pada versi 0.2 ini. Misalnya ketidakmampuan Chrome untuk mengakomodasi visual rich-text editor pada mesin wordpress blog Romantic Renaissance ini. Atau kehampaan yang saya rasakan ketika tidak menemukan mouse-gestures yang selama ini menemani saya berkeliling dunia internet. Saya pikir, Chrome sangat memerlukan kekuatan komunitasnya untuk menciptakan plugins yang membuat para peselancar dunia maya menjadi kasmaran berat dengannya. Seharusnya tidak perlu waktu lama untuk mereka mulai mengembangkan plugins itu tersebut, tapi entah kenapa saya juga tidak terlalu yakin browser Google ini akan menumbuhkan begitu banyak plugin seperti Firefox karena itu sepertinya akan menyangkali tujuan utama kelahiran Chrome.

Selama ini saya adalah pengguna browser Maxthon yang menurut saya pribadi sangat memuaskan dari segi keringanan, kecepatan, dan keluasan fungsi. Buat Anda yang begitu penasaran ingin mencobanya, silakan men-download versi ini yang sudah dikustomisasi maksimal, saya yakin Anda akan terdorong untuk menjadikannya browser primer atau sekunder. Namun sayangnya, Maxthon agak kurang bersahabat ketika mengakses situs yang kaya akan AJAX dan fungsi-fungsi skrip dinamis lainnya, seperti Facebook, Google Reader, Meebo, dsb. Akibatnya, sebelum ini saya masih menggunakan Firefox untuk situs yang demikian. Namun sekarang kehadiran Chrome sepertinya yang serba cekatan menangani skrip sepertinya merupakan penyatuan yang sempurna dari Maxthon dan Firefox. Terbukti saya yang sekarang sudah uninstall Firefox, tertinggal Chrome sebagai default browser yang disusul oleh Maxthon sebagai alternatif yang sampai sekarang masih sulit saya tinggalkan.

Chrome mungkin secara fantastis sudah berhasil menarik 1% dari pasar browser dunia hanya dalam satu hari peluncurannya, tapi sepertinya dia tidak begitu bersahabat dengan mereka yang menggunakan internet dengan bandwidth terbatas karena sampai saat ini tidak bisa memblok atau menonaktifkan gambar-gambar yang biasanya menyedot resource bandwidth. Akibatnya, berselancar dengan Chrome akan menghabiskan biasa yang cukup besar. Situs-situs populer di Indonesia seperti Detik, Kaskus, Okezone, ataupun manca negara seperti MSN dan BoingBoing memiliki begitu banyak materi gambar yang akan terasa merampok peselancar yang menggunakan dengan limited bandwidth. Namun tadi pagi saya menemukan seorang blogger yang memiliki solusi sementara untuk kelemahan ini, silakan baca sendiri di blog Johan.

Sampai hari ini, saya belum pernah mengalami insiden tidak bisa buka website, hang ataupun crash yang beberapa kali dikabarkan oleh beberapa ulasan di luar sana. Well, sebenarnya ada satu kali, tapi itupun karena saya yang melakukannya dengan sengaja mengunjungi sebuah halaman yang memang disusun untuk mengeksplotasi trouble tersebut. Sejumlah berita tentang celah-celah keamanan pada Chrome juga masih bisa saya maklumi karena… come on, sang bayi ini bahkan belum berusia 1.0, give her a break! Pasti akan ada banyak perbaikan dalam waktu singkat, berikut berbagai interesting tweaks, lewat sekumpulan chrome nerds yang berkoalisi di tempat-tempat seperti Google Chrome Community, Chrome Spot, Chrome Forum, dan Chrome Board. Bahkan kita juga sudah memiliki liang untuk para fans lokal, seperti di Chrome-Id dan Google Chrome WordPress.

What a romantic saga, what an invention, what a revolution. Browser yang tepat untuk pria Glossy yang terbiasa hidup beyond the box, sebagaimana wanita juga punya browser mereka sendiri, Pink Browser. Kalau Anda sudah membaca habis tulisan ini, tapi masih belum penasaran untuk mencicipi Chrome, rasanya gila. Minimal coba lirik sebuah komik karangan Scott McCloud yang dikerjakan khusus atas permintaan Google. Saya pribadi adalah penggemar Scott McCloud lewat karyanya Understanding Comics, itu sebabnya saya memiliki harapan yang tinggi untuk hasil kerjasamanya dengan Google ini. Sayang sekali, komik Chrome tidak berhasil memuaskan harapan tersebut, karena penyampaiannya yang masih terasa kaku, prematur dan tidak serius. Tapi pengguna Chrome, atau malah pencinta dan penganut agama Chrome, rasanya akan tetap menikmati karya tersebut sebagai kitab suci mekanik yang berisi pesan-pesan agung yang akan menyelamatkan dan mengubah masa depan dunia perbrowseran.

Oh Chrome, the messianic browser, thank you for saving our cyber live.


20 Responses to I chrome you, Google…

  1. I would like to say sorry to my Firefox karena sudah tidak terpakai sejak Chrome terinstal di kompi saya. I would like to thanks to Lex karena lebih memantapkan hati dengan Chrome sebagai pasangan saya di dunia maya 🙂

  2. Wah, info yg romantis dan menyeluruh. Jumat dah install di office namun belum sempat bercengkerama dengannya. Secara ini kemarin long weekend. Mau coba berasyik-masyuk dengannya di rumah saja ah. Sedasyat itukah? Thanks for the ‘provokatif’ tulisan.

  3. I must say Chrome sangat menyenangkan buat dipake until… I found out ternyata versi betanya ini ga bisa dipake secara full buat browsing facebook, uh oh… this can’t be good 🙂

  4. LOL, keren loe Lex…
    cara review loe terhadap Chrome sangat menarik…

    Salah satu ciri khas hitman, jago bercerita.

    Sukses yah buat Workshopnya… Lagian sekarang kok jarang banget ada cewe yang ajak berdebat?

Leave a Reply